Mengapa Sindhu?

(tulisan oleh Made Harimbawa)

Pertanyaan ini muncul sejak pertama kali saya mendengar tentang berdirinya Pusat Studi Peradaban Sindhu. Mengapa untuk mengenal jati diri bangsa, kita harus jauh-jauh terbang ke negeri yang kini berada di dalam wilayah negara Pakistan? Tidak cukupkah apa yang ada di tanah air ini dirangkai, disusun dan dijadikan titik tolak?

Ternyata jawaban yang saya dapat dari mendengarkan, membaca dan dari hasil perenungan, semuanya bulat: Tidak cukup! Apa yang kita miliki saat ini hanyalah sekeping dari banyak sekali pecahan yang entah di mana sisa-sisanya. Betul, bahwa ada sekian banyak kearifan lokal yang pantas diapresisasi oleh kita sendiri, bahkan dunia. Benar, bahwa kita masih punya sekian banyak lokasi bersejarah yang masih perlu digali agar kembali bersentuhan dengan matahari. Hal-hal tadi memang harus selalu kita dilakukan, tapi untuk menghadapi tantangan yang sekarang dihadapi, kita butuh obat mujarab segera, karena kita sedang sekarat.

Merangkai Indonesia bukan pekerjaan mudah. Makin hari, makin banyak alasan yang seolah memisah-misahkan kita. Seperti ranting-ranting beringin yang bercabang banyak, masing-masing kelompok berada di ujung-ujung yang berbeda. Di saat yang sama, kepentingan dari luar (yang hampir selalu datang karena persoalan ekonomi) menghimpit, mendesak kita untuk berubah dengan gesit. Kita seolah terbenam dalam kesibukan, sambil berharap semua membaik dengan sendirinya. Toh, beringin Indonesia selalu bisa menemukan jawaban.

Solusinya tidak-bisa-tidak harus diambil dari kedalaman bumi Pertiwi. Kita juga harus terus mundur dalam tangga waktu hingga kita sampai pada batang dan dahan yang menyatukan kita semua. Kita harus kembali ke titik di mana ‘kebhinekaan’ tidak lagi ada, ke titik ‘ketunggalan’. Di sana, Mpu Tantular yang menulis naskah Sutasoma, sumber slogan bangsa “Bhinneka Tunggal Ika”, mengingatkan bahwa di titik itu, tidak ada ‘dharma’, kebajikan, kebenaran yang men-dua. Tidak ada dharma-mu, tidak ada dharma-ku. Hanya dari sanalah, kita bisa menyembuhkan diri.

Puluhan ribu tahun mungkin tak terbayangkan bagi kita—yang mungkin beruntung bisa hidup sampai 70 tahun. Kebanyakan akan berpikir bahwa apa yang dihadapi manusia yang hidup ribuan tahun sebelum masehi sama sekali tidak bisa kita pakai sekarang: Ketika itu belum ada smart-phones, belum ada tata masyarakat dan tata pemerintahan yang semaju saat ini. Jika kita membaca buku-buku sejarah yang ditulis mereka yang berpikiran terbuka dan berkontemplasi sejenak, saya yakin Anda akan berubah pikiran.

Benar, mereka mungkin belum semaju kita dari segi teknologi informasi dsb, tapi permasalahan kita masih sama. Leluhur kita tinggal dalam kota-kota yang dipenuhi orang dari berbagai etnis dan latar belakang, seperti yang kini mulai terbukti terjadi di Harappa, Mohen-jo Daro, Mesir, Mesopotamia dan bahkan di negeri-negeri yang lebih tua lagi. Saya yakin mereka juga mengalami berbagai tekanan hidup, menghadapi perubahan alam dan sebagainya. Namun, ada beberapa peradaban yang bisa bertahan dan berlanjut hingga sekarang, namun lebih banyak lagi yang hilang atau tinggal reruntuhannya saja. Peradaban lembah sungai Indus atau Sindhu adalah satu-satunya yang bertahan hampir dalam bentuk awalnya. Apa rahasia mereka?

Agak panjang jika saya jelaskan di sini, banyak peneliti seperti Prof. Arysio Nunes dos Santos Ph.D dan ahli biologi molekuler Stephen Oppenheimer yang menunjukkan bukti-bukti bahwa peradaban-peradaban kuno dunia, seperti peradaban Sindhu, adalah pecahan, cabangan dari peradaban yang lebih kuno lagi yang berada di Paparan Sunda, atau yang lebih dikenal dengan nama Sundaland. Peradaban super-kuno ini kini hanya tinggal puing-puing saja karena bencana demi bencana yang terjadi seiring naiknya muka air laut yang kemudian memisah-misahkan sisa penduduknya di ribuan pulau yang ada sekarang. Berita baiknya adalah bahwa sebelum kehancuran total terjadi, beberapa kelompok berhasil mengungsi dan membawa serta khasanah ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan yang telah terkumpul ke tempat lain, salah satunya di Sindhu.

Adalah wajar kalau kita berkunjung ke sana, mencari dahan dan ranting yang masih segar, berdaun bahkan telah berbunga dan berbuah untuk kita cangkok dan bawa pulang. Kita harus belajar dari mereka, bagaimana mereka mampu bertahan di tengah perubahan jaman, di tengah gempuran dan pergesekan budaya selama ribuan tahun. Kita harus belajar dari pengalaman, kearifan dan kedalaman spiritualitas mereka. Dari sana, kita baru dapat merekonstruksi jati diri dan menemukan obat bagi penyakit kita.

2 thoughts on “Mengapa Sindhu?

Leave a comment